You and I, Kekuatan Kemanusiaan: Sebuah Wawancara Bersama Fanny Chotimah


"You and I" baru saja menerima penghargaan sebagai film dokumenter berdurasi panjang terbaik di Festival Film Indonesia 2020. Film dokumenter  yang disutradarai oleh Fanny Chotimah ini juga diputar di Singapore International Film Festival dan menjadi film penutup JAFF-Netpac Asian Film Festival 15, bulan lalu. "You and I" juga dianugerahi sebagai film terbaik di kompetisi DMZ International Documentary Film Festival Asia ke-12.

Film ini menceritakan tentang dua wanita mantan tahanan politik 1965 yang hidup bersama sampai akhir hayat. Keduanya, Kusdalini dan Kaminah tidak pernah menikah karena kuatnya stigma sebagai mantan tahanan politik. Mereka juga tidak bisa melanjutkan sekolah dan bekerja. Untuk bertahan hidup mereka membuka warung, menjual soto, melayani katering, dan menghabiskan hari tua bersama dengan berjualan kerupuk.

Kami mempunyai kesempatan singkat untuk mewawancarai Fanny Chotimah di sela-sela kesibukan meriset film terbarunya. 

Apa kabar Fanny? Bagaimana perasaanmu telah menyelesaikan film panjang You and I?

Hehe, perlu pesan kopi dulu nggak ini? Kabar baik bang, kabarmu bagaimana? Perasaanku mix feeling, senang haru campur aduk.

Dari mana ide film ini muncul? Apa yang membuatmu memutuskan untuk membuat film ini?

Ide membuat film ini muncul saat saya mulai intens berkenalan dengan protagonis saya mbah Kaminah dan Kusdalini. Saya jatuh cinta pada persahabatan mereka, juga pembawaan mereka yang hangat. Kisah hidup dan pengalaman mereka sayang sekali jika hanya saya yang mengetahuinya. Karenanya saya memutuskan untuk mendokumentasikan hidup mereka.

Kapan kamu memulai proyek film ini? Dan bagaimana persiapan rencanamu saat itu untuk film ini?

Riset dimulai tahun 2016 lalu lanjut shooting hingga tahun 2018, lalu editing di tahun 2017-2019 meski tahun ketiga tidak begitu intens. Persiapan dimulai dari cerita, saya menulis script dan membuat treatment berdasarkan hasil riset dan observasi. Namun karena dokumenter sangat dinamis, ceritapun berubah seiring proses. Dan juga ada hal-hal yang terjadi di luar kendali saya, karenanya saya harus terbuka untuk menerima perubahan-perubahan tersebut.


Kepada siapa saja pertama kali kamu mengutarakan ide filmmu ini dan bagaimana tanggapan mereka?

Pastinya kepada produser saya karena mereka juga yang mengenalkan saya kepada mbah Kaminah dan Kusdalini. Karena sebelumnya profil mereka sudah dimuat dalam bentuk buku fotografi, produser saya menyambut baik respon lain terhadap karya buku foto sebelumnya. Jadi awalnya dari medium foto lalu beralih ke medium film.

Apakah kamu ingin menyampaikan sesuatu terkait peristiwa 1965 di Indonesia melalui film ini? Atau kamu hanya menjadikan titik tolak linimasa untuk menceritakan hal lain yang lebih intim?

Peristiwa 1965 merupakan latar belakang protagonis saya, dimana keduanya bertemu karena sesama aktivis dan juga ditangkap. Hal yang ingin saya tahu bagaimana mereka bisa bertahan hidup selepas dari penjara lalu memperjuangkan keadilan bagi mereka dengan sesama penyintas lainnya. Keberpihakan saya kepada kemanusiaan, bahwa dihukum tanpa peradilan seperti yang  menimpa mereka mungkin saja terjadi pada kita semua. Relasi persahabatan mereka merupakan kekuatan untuk bertahan hingga titik akhir. Saya mengagumi keteguhan mereka untuk meneruskan ‘risiko perjuangan’.

Apakah kamu merasakan keterhubungan emosi dengan subjek ketika membuat film ini? Bagaimana caramu menjaga jarak, agar tetap bisa menyelesaikan filmmu?

Tentu saja saya dekat secara emosional kepada keduanya, terutama mbah Kaminah. Kami bersahabat. Karena berteman secara otomatis kita tahu bagaimana kita menjaga jarak dan batasan yang diperlukan. Di mana protagonis saya merasa nyaman atau tidak.

Apa yang kamu harapkan dari film ini ketika ditonton oleh khalayak? Apa rencanamu selanjutnya setelah film ini selesai?

Harapanku bisa menumbuhkan rasa empati di kalangan penonton terhadap para penyintas ini. Sehingga kita tidak mudah memberikan stigma kepada mereka. Rencanaku tentunya ingin diputar lebih luas lagi ya, sehingga bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat.

Apa kesalahan yang kamu sadari dan apa kekurangan yang kamu rasakan (tentu saja ingin kamu perbaiki) setelah film ini selesai dan ditayang untuk publik?

Saya menyadari ada banyak kesalahan ataupun keputusan saya yang keliru misalnya. Ada momen yang saya lewatkan atau karena ketidaksiapan secara teknis meski terekam tapi tidak bisa digunakan. Namun film ini sudah selesai dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya harus move on hehe..

Apakah kamu punya next project yang bisa ditunggu? Hehe

Ada dong, tapi masih dalam tahap riset. Saya belum bisa cerita lebih detailnya ditunggu saja ya.


Wawancara oleh Akbar Rafsanjani

Artikel ini tersedia dalam dua bahasa. Bahasa Indonesia dan Inggris. Untuk membaca dalam bahasa Inggris, silakan klik disini

Previous Post Next Post

Contact Form